Friday, August 13, 2010

LEMBUR


Posted by Godie on 2005-08-29 [ print artikel ini | beritahu teman | dilihat 1115 kali ]

BADUT di negeri ini, kata orang, menyelaraskan zaman. Tidak usah jauh-jauh, simaklah di sekitar Anda, pasti menggelikan. Tuntutan keluarga, misalnya, harus membawa pulang penghasilan besar. Tapi, begitu kerja serius hingga larut, ditanyai dengan nada curiga: ''Lembur atau lembur?''

Yang berprinsip bahwa diam adalah emas tidak menggubris sindiran itu. Celakanya, diam bisa diartikan pembenaran. Setelah itu, pembicaraan ''lembur'' mengisi kuping tiada henti, seolah jagat ini cuma stereotipe di seputar ranjang. Maklum, yang punya duit juga doyan begituan, sih. Alasannya, ''Memicu kreativitas.''

Padahal, asal tahu, banyak kisah terungkap bahwa perselingkuhan itu sering direkayasa, atau diatur sedemikian rupa sebagai jebakan. Maksudnya, agar bisa diperas atau dikeduk hartanya. Jika perlu, dijatuhkan martabat dan kedudukannya. Oalah!

Episode berikutnya soal pembantu tetangga. Pintu kamar dia terpaksa dikunci lantaran stres ndengerin pembantunya ngomel. "Gimana sih Ibu, Bapak telepon berkali-kali, pergi kok tidak pulang-pulang,'' kata si pembantu. Padahal, pergi atau diam, itu bukan urusan dia.

Namun, walau nyebelin, tanpa mereka situasi rumah tak tertangani. Buntutnya, pengabdian --jangan diartikan perbudakan, lho-- pada suami jadi terganggu. Semangat untuk nyuci dan nyeterika sendiri cuma beberapa hari, selebihnya ngedumel tak berujung.

Masih soal pembantu, pengalaman rekan lain lebih seru. Pembantu itu berjilbab dan santun. Ia tak pernah meninggalkan salat, mengaji, dan puasa Senin-Kamis seperti majikannya. Kata-kata Islami tak pernah sepi. Usai makan, misalnya, ia mensyukuri, ''Alhamdulillah. Allah Mahamurah, ya, Bu.''

Namun, belum dua pekan kerja, dia mohon dipinjami Rp 1 juta untuk modal adiknya berjualan. Tak dipenuhi. Sejak itu, watak aslinya muncul. Ia mengeluh sakit pinggang, tapi tak mau dibawa ke dokter. Ia malah pamit pulang, dan agar tasnya diperiksa. ''Tak usah, saya percaya kamu,'' kata nyonya rumah.

Setelah pergi, baru terasa ada yang tak beres. Beberapa setel pakaian rekan ini lenyap. Sopir yang mengantar si pembantu diminta kembali. Ada apa, Bu? ''Pakaian saya terbawa kamu, ya?'' Benar. ''Ada dua setel, Bu,'' katanya tanpa ekspresi salah.

Lantaran belum percaya 100%, penggeledahan akan diteruskan. ''Oh, maaf, Bu. Empat setel,'' ujarnya lagi, sembari mengeluarkannya dari tas. Oh, badut! Kemarahan pun tak terbendung: ''Percuma kamu salat, ngaji, puasa Senin-Kamis kalau tidak jujur.''

Ulah badut jalanan lebih mencolok. Mereka ngumpet di lokasi tersembunyi menunggu ''pasien'' terjebak rambu-rambu lalu lintas. Priit! ''Maaf, Bapak salah jalan,'' kata dia bernada simpatik. Kesalahan itu akhirnya berujung kompromi.

Tampaknya, tiap kesalahan selalu menciptakan peluang. Asyik! Itu baru tingkat teri. Kelas kakap beda lagi. Misalnya, main patgulipat dalam penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Tercatat ada 25 tersangka koruptor kakap yang di-SP3-kan dengan beragam alasan yang tak dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam pandangan para pengamat, pengungkapan korupsi justru membuka praktek korupsi baru di lingkungan aparat penegak hukum. Akibatnya, korupsi tidak pernah menyusut. Itu pula, antara lain, yang disoal Komisi III DPR kepada Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, pekan ini.

Kok, belum ada tindakan revolusioner menyikat koruptor oleh pemerintahan SBY? Menghabisi moral busuk itu tidak dengan kesederhanaan, melainkan harus ada keberanian dan nyali. ''Melawan koruptor itu, menurut saya, harus orang-orang yang setengah gila,'' kata Trimedya Panjaitan dari PDI-P.

Contohlah menyikat penjahat di Cina. Diperlukan terapi kejut dan tak usah beramah-ramah. Di "negeri tirai bambu" itu pepatah tua mengatakan: ''Bunuhlah seekor ayam untuk menakut-nakuti seribu ekor kera.'' Darah ayam diharapkan membuat ngeri kera.

Ternyata, mati di tiang gantungan pun tak menjerakan penjahat. Ekonomi Cina yang melesat pesat menciptakan koruptor-koruptor baru. ''Jika mau tahu watak seseorang, beri dia kekuasaan,'' kata Abraham Lincoln. Inilah hasilnya. Kekuasaan yang dibungkus kepiawaian ngakali melahirkan korupsi merata di lapisan birokrasi.

Pejabat Cina pun geregetan. Perdana Menteri Cina, Zhu Rongji, yang dilantik pada Maret 1998, mengatakan, ''Untuk melenyapkan korupsi, saya menyiapkan 100 peti mati,'' katanya. Ia melanjutkan, ''Sembilan puluh sembilan untuk para koruptor dan satu untuk saya, bila saya berbuat sama.''

Buntutnya, mantan Wakil Gubernur Provinsi Jiangxi, Hu Changging, dijebloskan ke penjara. Hu dituduh menerima suap sekitar Rp 6,6 milyar. Ia akhirnya dieksekusi mati pada 8 Maret 2000, 24 jam setelah bandingnya ditolak. Eksekusi disegerakan agar anak manusia tidak ikut-ikutan berbuat jahat.

Pada 1999 tercatat 1.263 penjahat --pembunuh, perampok, dan koruptor-- yang dihukum mati. Sampai 2001, total eksekusi mati di Cina mencapai 4.367 orang. Mata dunia pun terbelalak. Pengamat hak asasi manusia menyoal pemberantasan kejahatan yang kebablasan itu, tapi tidak digubris oleh Pemerintah Cina.

Presiden Hu Jintao, 61 tahun, yang menggenggam tiga kekuasaan besar --Ketua Partai Komunis Cina, presiden, dan panglima militer-- pada September lalu juga tak surut menyikat koruptor. Garis besar langkah politiknya adalah lebih merespons keinginan publik, dan menindak keras praktek korupsi.

Dan, di Indonesia, pemerintahan SBY mencanangkan 9 Desember nanti sebagai hari pemberantasan korupsi. Ini perlu didukung, sebelum korupsi merusak sendi-sendi bernegara dan menginspirasi para badut lain. Juga, sebelum kata ''lembur'' berkonotasi multi-penyimpangan. (Widi YM)


sumber: Motivasi Net


No comments:

Post a Comment