Sunday, November 13, 2011

Bus 68



Udah dua minggu ini gue pulang pergi naik Bus, karena temen gue lagi bikin SIM-L untuk motornya disini. Jadi, untuk sementara dia nggak bisa bonceng orang sampe SIMnya jadi SIM-P.
Dari Bukit Bintang, gue harus naik monorail terus nyambung bus di Kl Central yang arahnya ke tempat tinggal gue (old klang road).
Gue baru tau, kalo ada satu bus yang gue tumpangin setiap jam tujuh malam itu (U68) cuma diperuntukkan untuk kaum hawa aja jadi, cowok nggak boleh masuk. Ckckckck

Satu hari, gue nemuin kejadian lucu. Tepat pukul 7 malam, gue naik bus U68 menuju apartement zamrud, tempat kediaman gue dan temen-temen gue yang lainnya. Waktu itu, banyak banget orang yang naikin bus itu. Jadi, busnya agak penuh dan gue nggak dapet tempat duduk. Gue diri ditengah-tengah sambil pegangan tiang besi yang ada dibus itu. Waktu busnya udah sampe Mid Valley Mall, satu cewek tomboy (penampilan kayak cowok abis! maaf ya!) naik ke bus yang gue tumpangi. Waktu gue perhatiin, gue kira dia cowok... Supirnya sampe ngotot! "Awak prempuan ke laki-laki!?" tanya si supir. Si cewek jawab dengan kasar," prempuanlah!". Terus si supir ngotot lagi,"Eh, betul ke? cakap betul2 la... you laki ke prempuan!!!??". (Maaf! hahahaha, walaupun nggak lucu banget! tapi mampu bikin seisi penumpang ketawa geli! gue nggak bo'ong!). Si cewek sambil nyodorin uangnya sambil ngotot,"IH! SAYA PREMPUAN LA!!!!...". Si supir senyum-senyum aja.

Gue yang tadinya cape and bad mood jadi terobati. hehe

Friday, August 13, 2010

HATI SELUAS DUNIA


Posted by Kalyana on 2007-11-12 [ print artikel ini | beritahu teman | dilihat 3238 kali ]

Dahulu kala, hiduplah seorang guru yang terkenal bijaksana. Pada suatu pagi, datanglah seorang pemuda dengan langkah lunglai dan rambut masai. Pemuda itu sepertinya tengah dirundung masalah. Tanpa membuang waktu, dia mengungkapkan keresahannya: impiannya gagal, karier, cinta, dan hidupnya tak pernah berakhir bahagia.

Sang Guru mendengarkannya dengan teliti dan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Dia taburkan garam itu ke dalam gelas, lalu dia aduk dengan sendok.

" Coba minum ini, dan katakan bagaimana rasanya?" pinta Sang Guru.

"Asin dan pahit, pahit sekali," jawab pemuda itu, sembari meludah ke tanah.

Sang Guru hanya tersenyum. Ia lalu mengajak tamunya berjalan ke tepi telaga di hutan dekat kediamannya. Kedua orang itu berjalan beriringan dalam kediaman. Sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu. Sang Guru lalu menaburkan segenggam garam tadi ke dalam telaga. Dengan sebilah kayu, diaduknya air telaga, membuat gelombang dan riak kecil.

Setelah air telaga tenang, ia pun berkata, "Coba, ambil air dari telagaini, dan minumlah."

Saat tamu itu selesai meneguk air telaga, Sang Guru bertanya, "Bagaimana rasanya?"

"Segar," sahut pemuda itu.

"Apakah kamu masih merasakan garam di dalam air itu?" tanya Sang Guru.

"Tidak," jawab si anak muda.

Sang Guru menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk bersimpuh di tepi telaga.

"Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan seumpama segenggam garam. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama.Tetapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah atau tempat yang kita pakai. Kepahitan itu, selalu berasal dari bagaimana cara kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan atau kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang boleh kamu lakukan: lapangkanlah dadamu untuk menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu. Luaskan cara pandang terhadap kehidupan. Kamu akan banyak belajar dari keluasan itu."

"Hatimu anakku, adalah wadah itu. Batinmu adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah hatimu seluas telaga yang mampu meredam setiap kepahitan. Hati yang seluas dunia!"

Keduanya beranjak pulang. Sang Guru masih menyimpan "segenggam garam" untuk orang-orang lain, yang sering datang padanya membawa keresahan hati.